Minggu, 10 Agustus 2014

Terlalu Mencintai Diri Sendiri Juga Tidak Baik

denting hujan diluar sana, kini semakin mengisi keheningan ku dan kamu disini. Disini, dimeja ini, dengan sepasang americano coffee yang sama anmun kkenapa terasa berbeda? Kita terus duduk berhadapan tetap saling pandang. Sesekali ku hirup americano coffee yang mulai terasa dingin. 
"Kini kita sama - sama tau..." ucapku terpotong sambil menaruh americano coffee diatas meja.
"Kita berdua hanya sama - sama terlalu mencintai diri kita sendiri. Kita tak mau menyakiti diri kita dengan cinta ini." Lanjutku menatap lurus kepadanya. Kini sosok pria di depanku mulai mengembangkan sedikit senyum. 
"Bukan kita, lebih tepatnya kamu. Kamu terlalu taku berjuang bersamaku. Kamu terlalu takut akan rasa pedih di tengah - tengah perjuangan kita. Bukankah Tuhan menciptakan bahagia sepaket dengan rasa sedih? Bukankah kamu terlalu egois untuk mau menikmati bahagia tanpa sedih selama berjuang denganku?"
 ***
Bintang malam ini pun kian ramai. Seolah tak mau meninggalkan bulan sendirian. Fikiranku pun tak kalah ramai. membayangkan perkataanmu tadi sore. Apa benar aku yang terlalu egois dan takut terluka? Apa benar aku terlalu mencintai diriku sendiri? Bukankah ini saatnya untuk berbagi? Bukankah dikemudian hari kita akan menghabiskan waktu dengan seseorang? 
***
Buka diri, bukankah menyenangkan berbagi tiap tawa dan sedih bersama seseorang kelak? Benar, jika kita mampu tertawa dan menangis dengan orang yang sama bukankah itu indah?

Kamis, 07 Agustus 2014

Marketing

Satu bulan lebih lamanya aku di pengasingan. lebih tepatnya kembali ke tanah kelahiran. Jambi. Ya tempat asal aku dilahirkan. Satu bulan itu pula bukan waktu berliburku, melainkan memulai karir baru sebagaimana seorang marketing. Aku di rekomendasikan oleh suami sepupuku untuk ikut mencoba menjadi marketing. Well, i'll try fikirku kalah itu. Mungkin sebagian orang akan berpikiran, "sayang banget S1 lho, kok mau jadi marketing. itu kan kerjaan anak SMA". Akupun tak pernah menyalahi argumen yang seperti itu. Tapi, aku memiliki argumenku sendiri, yaitu: Mana yang lebih memalukan menjadi seorang marketing yng berasal dari S1 atau menjadi pengangguran dari S1?. Cara berfikirku kala itu seperti itu. Jadi, aku menerima posisi ini. Satu bulan lebih lamanya pasti sangat banyak hal yang aku dapat. Diantaranya bagaimana aku harus menghilangkan kesombonganku, bagaimana bertanggung jawab pada pekerjaan, bagaimana harus bersikap. Masih banyak lagi yang aku pelajari. Namun, kenapa harus berhenti? Karena Allah telah persiapkan hal lain. Aku tau itu.